Bismillah
Ada
sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum
muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang
menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun
ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak
dibangun di atas dalil.
Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa
permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa
namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan
nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan
pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa
para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin,
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faidah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1. Bahwa orang
yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan
tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya.
Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang
menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu
fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
rahimahullah setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa,
berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak
merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat
(tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan karena
terpaksa).” Kemudian beliau rahimahullah membawakan beberapa dalil, di
antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah k telah mengabulkan doa
yang tersebut dalam firman-Nya:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat
An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap
orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih
berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal
puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)
Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh
Al-‘Utsaimin rahimahullah adalah apabila orang tersebut benar-benar
tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga
orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau
bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya
atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban
tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan,
2/435)
2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barang siapa yang muntah karena
tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti
puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib
baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi,
Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani
rahimahullah di dalam Al-Irwa’ no. 930)
Oleh karena itu, orang yang merasa mual
ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak berusaha memuntahkan apa
yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena hal ini akan membatalkan
puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntahnya karena inipun akan
berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan
sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa
Ramadhan, 2/481)
3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah:
“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan
saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal
ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun
dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut
dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal
itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Keluar darah bukan karena
keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun dalam jumlah
yang sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:
- “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.
- “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu
pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan
karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.
- “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat
dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan
lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan
berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).
Maka orang yang keluar darahnya akibat
luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya
tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang
keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit
darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya.
Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga
membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana
orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu
dalam rangka pengobatan).
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang
cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah
keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan
donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya
darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang
sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari dan yang
lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan
Ramadhan.
5. Pengobatan yang dilakukan
melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak
tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus,
maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat
makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga
tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut
mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan
telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung,
ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yang benar adalah bahwa keduanya
bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat
yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa.
Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak
mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan.
(Fatawa Ramadhan, 2/510-511)
6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak
sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa
dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau
adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.”
(Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh
pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik
baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah
sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan
syahwatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
… يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي …
“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR. Muslim)
Dan juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada
yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi
berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa)
7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan memakai wewangian. Namun
bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak
boleh untuk menghirupnya atau menghisapnya. Juga diperbolehkan baginya
untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia
harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam tenggorokan,
sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan
air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang
tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau
terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan puasa. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu)
kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu
bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788,
An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa,
hadits no. 935)
8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu dalam sebuah atsar:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ
“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk
mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini
dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa no. 937)
Demikian beberapa hal yang bisa kami
ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap
muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat
Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan
puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya
kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc, judul asli Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa.
sumber )